Jumat, 03 April 2009

Industrialisme dan Budaya Massa

Hubungan antara budaya dengan ranah sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang ada, hal inipun terjadi sebelum masa industrialisasi. Perubahan-perubahan terjadi mengenai bagaimana cara seseorang menjalankan hidupnya, bagaimana mereka melaksanakan kegiatannya dan pola konsumsi mereka. Selanjutnya akan dilihat bagaimana pola konsumsi dirubah oleh munculnya industrialisasi. Aspek-aspek yang muncul antara lain dilihat dari munculnya praktek-praktek komersial baru, bagaimana pengaruh media, dan keterkaitan antara kredit dan konsumsi masyarakat. Selain itu juga akan dilihat bagaimana peran budaya dalam pola konsumsi, dilihat dari sisi kelas, gender, dan lokasi.

Perubahan pola konsumsi menyesuaikan dengan rentang waktu dan manusianya. Sebelum kemunculan industrialisasi, barang merupakan media ekspresi akan status mereka. Kemunculan revolusi industri membawa perubahan, tiap manusia memiliki cara yang berbeda akan pola konsumsi guna mengekspresikan diri mereka, termasuk sikap mereka akan dominasi budaya kaum borjuis.

Negara-negara pada masa prakapitalis di Eropa yang diperintah oleh aristokrasi telah mengenal bagaimana status kelompok maupun individu sebagai dasar dari identitas mereka. Adapun perkembangan masyarakat terbantu oleh tumbuhnya individualisme. Industrialisasi dianggap sebagai titik cerah bagi kaum buruh yang dapat membawa mereka ke arah yang lebih baik dan terbuka akan informasi. Dengan begitu mereka akan memiliki minat terhadap seni dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat.

Edwards Hills melihat masyarakat sebagai sebuah perhimpunan besar dengan teknologi modern yang berupa tehnik-tehnik industri yang telah membebaskan manusia dari beban fisik yang meletihkan buruh, dan memberikan nuansa baru dalam bentuk sebuah pengalaman. Perhinpunan masyarakat dilihat telah membangkitkan dan memperluas paham individualitas. Pada abad sembilan belas, muncul berbagai bentuk baru dalam hal komunikasi masyarakat, mulai dari fotografi hingga internet. Muncul pula kritik-kritik pada abad dua puluh dari budaya masyarakat yang meningkat, meliputi kaum radikal yang kehilangan nostalgia akan masa masa emas yang telah lalu. Sedangkan pada abad kedua puluh, kaum radikal maupun konservatif mengindahkan budaya masayarakat sebagai suatu hal yang vulgar dan dapat dieksploitasi.

Teori Kritis

Pada pertengahan abad kedua puluh, kritik-kritik sosial mempertanyakan mengenai kualitas hidup rata-rata seseorang dan melibatkan Frankfurt Shool, sebuah produksi masyarakat yang kehilangan otentisitas. Kritik-kritik dari Frankfrut Shool menghasilkan sebuah institute interdisiplin untuk penelitian sosial, yang didedikasikan untuk pengujian radikal akan masyarakat borjuis melalui dua hal, yaitu filosofikal dan investigasi empirikal. Adapun kontribusi penting Frankfrut School adalah analisis mereka mengenai krisis dari budaya modern. Teori-teori krisis melihat budaya sebagai sesuatu yang lebih sederhana dibandingkan sebuah struktur super yang merefleksikan dasar dari struktur ekonomi. Mempertimbangkan hubungan antara seni dan struktur sosial untuk dimediasikan dan dilakukan proses dialektikal, yaitu subyek pada kompleksitas yang saling mempengaruhi antara berbagai elemen yang saling berinteraksi. Terkait akan adanya sebuah “fungsi negative” pada budaya positive dari kaum kapitalis borjuis, maka Theodore Adorno menulis bahwa seni “adalah sebuah dorongan protes dari manusia terhadap tekanan yang menguasai institusi, agama, dan kebijakan lain, tidak lebih dari pada melefleksikan pendirian objektif mereka.”

Teori-teori kritis melukiskan budaya modern sebagai suatu hal yang didominasi oleh nilai pertukaran dari pada nilai guna. Budaya pada masyarakat pra-modern terdapat pada hubungan langsung terhadap masyarakat mereka, dan teoris kritik melihat bahwa budaya populer dijatuhkan dari atas. Walter Benjamin, terkait dengan masalah reproduksi ulang yang menarik perhatian Franklin School, melihat keunikan dan kepermanenan ditukar untuk sebuah perlabuhan dan kemampuan dalam produksi ulang. Benjamin menyatakan bahwa reproduksi merubah nilai dari pekerjaan asli. Potografi sebagai sebuah bentuk seni yang diciptakan oleh sebuah masalah konseptual dilihat oleh Benjamin bahwa semenjak kemampuan reproduksi dibuat pada bentuk-bentuk dimana tidak terdapat kriteria otentisitas. Kamera memproduksi kenyataan yang memberikan imej tanpa pemaknaan. Film adalah hal yang lumayan penting, karena didesain untuk dilihat pada sebuah settingan kolektif.

Perbincangan antara teori sosial dan psikoanalisa telah dilanjutkan oleh sebuah generalisasi dari kritik sosial. Beberapa kritik menerpa sebuah visi nostalgia yang menerima pandangan dari masa lalu. Namun teoris dari Frankfurt School tidak melihat kebelakang akan komunitas tradisional yang hilang. Melalui akhir abad kedua puluh, teori-teori kritis melihat pertumbuhan pra-dominan dari sebuah masyarakat yang memiliki andil dalam konsumsi budaya.

Distribusi Industri Masyarakat

Distribusi merupakan sebuah jaringan kompleks antara fabrikasi dan konsumsi dan dikenal bervariasi. Industrialisasi memicu cara-cara baru dalam proses dirtribusi. Munculnya inovasi-inovasi modern seperti halnya pasar swalayan telah meminggirkan cara berdagang tradisonal, dan merupakan cara baru dalampenyaluran barang. Hal tersebut merefleksikan adanya etika baru dalam pola konsumsi. Selanjutnya, periklanan dan pasar swalayan menyediakan dasar finansial dari tumbuhnya surat kabar.

  • Pasar Swalayan

Bermula di Eropa dan Amerika Serikat, kemunculan toko-toko swalayan merupakan sebuah bentuk penyatuan dari usaha-usaha rutinisasi dan rasionalisasi penjualan. Rasionalisasi membuat munculnya kemungkinan inovasi cara pemasaran baru dari sebuah pasar swalayan, yakni harga barang yang diturunkan. Dilihat dari segi fisik dan jumlah karyawan, pasar swalayan dapat disetarakan dengan pabrik besar. Dalam mendukung usahanya, mereka mengadopsi konvensi-konvensi baru dalam pengorganisasian barang. Kemudian pada abad kedua puluh, rasionalisasi membawa “manajemen sistematis”, maka departemen akuntansi mengembangkan usaha dalam pengawasan produktifitas karyawan mereka.

Dengan didampingi kaum borjuis sebagai pelanggan ideal, pasar swalayan menyediakan ruang publik baru untuk wanita di pusat kota yang sebelumya didominasi oleh kaum pria. Selanjutnya, walaupun pasar swalayan terbuka untuk umum, namun mereka melakukan pendefinisian gaya mewah dalam kehidupan. Setiap toko, dilengkapi dengan pengembangan departemen pesanan-surat dalam rangka menembus pola ruang kewilayahan. Namun begitu, dari segala hal yang terdapat dalam pasar swalayan, muncul kekhawatiran akan kualitas dari barang-barang yang diproduksi. Begitupun dengan persoalan tantangan akan moralitas bagi wanita yang sering memasuki ruang publik, dalam hal ini pasar swalayan.

  • Periklanan

Industrialisasi mengalami peningkatan dalam segi jumlah maupun variasi barang dan juga dalam bentuk inovasi yang menawarkan peluang untuk konsumsi. Oleh karenanya bisnis kemudian menjadi saling berkaitan dengan penciptaan pasar nasional yang menjadi target pemasaran. Adapun periklanan adalah instrumen dalam promosi pergesaran budaya.

Periklanan berusaha menggantikan nilai-nilai konservatif dengan gagasan baru bahwa konsumsi merupakan sebuah hal yang baik. Periklanan merupakan aspek yang dapat menembus budaya modern, kemudian muncul kritik bahwa ini merupakan usaha dari produsen guna memanipulasi dan mengontrol masyarakat. Periklanan digunakan oleh para produsen dengan berbagasi strategi pemasaran lainnya guna mengembangkan sebuah bentuk pemasaran gabungan.

Selanjutnya banyak konsumen yang tidak terlindung dari badai iklan. Iklan lalu menghipnotis mereka, sehingga kemudian iklan menjadi alasan utuma untuk melakukan konsumsi. Schudson kemudian melihat adanya sebuah hubungan paralel antara pekerja seni dari “realisme sosialis” Uni Soviet dan periklanan, yang ia karakteristikkan sebagai hasil sortiran dari realisme kapitalis.

Konsumsi Massa

Definsi terhadap awal dan akhir dari revolusi industri pada dunia Barat tergantung pada tahap revolusi minat. Yakni bagaimana pada akhirnya konsumsi dapat menjadi sebuah cara dalam mengekspresikan status yang dimilki. Hal ini mengekspresikan bagaimana perilaku dominan dari kaum borjuis. Saat ini secara umum budaya konsumen sudah tidak simetris dengan konsekuensinya.

  • Kelas, Gender, dan Konsumsi

Posisi sosial telah membuat perbedaan yang besar mengenai bagaiman individu dapat termasuk kedalam budaya konsumerisme, oleh karenanya menjadi penting untuk memahami signifikansi dari kelas dan gender. Produsen amat bergantung kepada daya beli konsemen demi kelangsungan usaha mereka. Daniel Bell menyatakan bahwa konsumsi masyarakat bangkit pada awal 1920-an, selanjutnya pengembangan ini diatribusikan pada revolusi teknologi dan pada tiga penemuan sosial, yakni produksi lini gabungan, pengembangan pasar, dan penyebaran pembelian.Berikutnya adalah terjadinya pereseran nilai moral, yakni bagaimana angsuran yang semula identik dengan kaum miskin dan hutang kemudian bertransformasi menjadi kredit yang dapat diterima masyarakat.

Selanjutnya Victoria de Grazia dalam The Sex of Thing (1996) mengungkapkan bagaiman konsumsi difilterisasi oleh rumah tangga. Ia melihat bahwa pengalaman-pengalaman dalam rumah tangga membawa dampak yang kompleks ketika kelas dan gender mendorong terjadinya konsumsi. Selain itu de Grazia melihat bagaimana posisi status digubungkan dengan kelas dan gender terkadang merupakan konfigurasi ulang dibawah rezim baru budaya konsumsi. Semenjak revolusi industri, para wanita dalam perannya di keluarga menjadi lebih condong kepada aktifitas konsumsi, de Grazia menyatakan bahwa konsumsi secara fundamental digenderkan pada wanita.

  • Konsumsi dan Globalisasi

Revolusi konsumsi yang semula terjadi di dunia Barat akhirnya menyebar ke penjuru dunia yang lain. Hal ini dikarenakan antara lain oleh pemahaman masyarakat terhadap budaya konsumen dominan yang meningkat, selain itu mereka menjadi ajang kepentingan transisi barat akan kapitalisme konsumen massa.

Negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami pertumbuahan ekonomi yang pesat dan bermula pada awal 1960-an. Dalam kasus Korea Selatan, dapat dilihat adanya perbedaan pandangan antar generasi terhadap konsumerisme. Sedangkan Indonesia, dikarenakan tingkat perkembangan yang lambat, membuang sisi simbolis dari konsumsi kedalam bentuk yang lebih jelas. Solvay Gerke melihat bagaimana keterbatasan kemampuan pada kelas menengah untuk melakukan konsumsi dalam bentuk yang dapat dilihat dari status yang ditunjukkan. Gerke melihat bagaimana gaya hidup dan simbol-simbol mempengaruhi aktifitas mereka. Dengan gaya hidup tersebut, mereka menafikan asumsi sosial dan ekonomi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar