Jumat, 03 April 2009

TPS 22-02-09

Teori-teori Sosiohistoris : Perkembangan

Walau pandangan sejarah sebagai siklus dominan di kalangan pemikir Cina, Yunani dan Romawi, namun ada sejumlah pemikir kuno yang melihat jalannya perubahan sosial menurut proses garis lurus (linear). Proses linear ini dapat mengarah pada kemajuan atau kemunduran.

Konsep linear tentang sejarah, terlihat dalam karya St. Augustine, yang menulis mengenai “kebangkitan, kemajuan dan tujuan yang ditentukan dari dua kota, yakni kota Tuhan dan kota dunia”. Menurutnya tujuan kota Tuhan adalah kebahagiaan abadi; dan tujuan kota dunia adalah kesengsaraan abadi, meski tak semua pemikir kuno sepesimis itu akan kota dunia.

Namun ide kemajuan menjadi tema dominan di dunia Barat modern, seperti yang dikemukakan oleh Condoret, Comte dan Spencer. Condoret mengatakan bahwa tidak ada hambatan yang melekat dalam kesempurnaan kemampuan manusia. Ia mengakui, tingkat kemajuan mungkin berbeda, namun tidak ada kemungkinan untuk tetap atau mundur.

PERKEMBANGAN EVOLUSIONER

Auguste Comte

Comte (1798) membagi sosiologi menjadi sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Aspek statis sosiologi, serupa dengan apa yang kini kita sebut struktur; sedangkan aspek dinamisnya mengacu kepada perubahan.

Studi sosiologi dinamis adalah studi tentang urutan perkembangan manusia . Tugas ilmu sosial adalah menemukan hukum yang menentukan urutan perkembangan itu. Penemuan hukum-hukum tersebut akan menjadi basis rasional yang memudahkan kemajuan umat manusia.

Guna mencari hukum-hukum rentetan sejarah tersebut, Comte menemukan tiga tingkat perkembangannya. Ketiganya adalah : tingkat teologis atau khayalan, tingkat metafisika atau abstrak, dan tingkat ilmiah atau positif”.

Di tingkat teologis, pikiran berfungsi “ mengira semua fenomena diciptakan oleh zat adikodrati”. Comte membagi lagi tingkat teologis ini mejadi tiga, yakni : (a) kepercayaan terhadap kekuatan jimat (fetishism); (b) keperayaan terhadap banyak dewa (politheism); dan (c) keperayaan terhadap keesaan Tuhan (monotheism).

Tingkat metafisika adalah modifikasi dari tingkat teologis, yang mengasumsikan fikiran bukan ciptaan adikodrat tetapi ciptaan “kekuatan abstrak”, sesuatu yang dianggap ada, yang melekat di dalam diri seluruh manusia dan mampu menciptakan semua fenomena.

Di tingkat positif, pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut, yang asli dan yang mentakdirkan alam semesta, dan yang menjadi penyebab fenomena; melainkan mencari hukum-hukum yang menentukan fenomena. Nalar dan pengmatan menjadi alat utama dalam berfikir.

Di tingkat positif ini, agama dan kemanusiaan akan muncul. Sosiolog akan menjadi pendeta agama baru, dan akan membimbing manusia dalam kehidupannya yang harmonis. Di tingkat ini kekuatan militer akan digantikan oleh kekuatan industri, dan manusia akan hidup bersama seara harmonis karena perilaku mereka dan institusi sosial yang mereka bentuk dipimpin oleh cara berpikir positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar